Rabu, 04 Juli 2012

The Adoption Of Sharia In Indonesian Legal System


The Adoption Of Sharia In Indonesian Legal System
Author : ABY MAULANA, SH


It has been long debated about the adoption of Sharia in Indonesian legal system. This essay provides an overview and clarification of the issue. The author agrees that Sharia will be intergrated to Indonesian legal system, but that it isn’t the whole law is the law of Islam. The fact, Islamic Law (Sharia) has been adopted in more than half of Indonesia’s provinces with support for such Islamic laws expected to grow. Proponents of Sharia believe that Muslims are required to follow the letter of Islamic law and only Islam can solve endemic corruption, the lack of legal certainty, and what they perceive as a decline in public morality brought about by globalisation and secularism. On the other hand, opponents of Sharia are of the opinion that the adoption of Sharia in Indonesia is unacceptable because it is not in line with the pluralism that the constitution recognizes and the democracy that promises religious freedom to its citizens.

First, Indonesia has a Muslim majority population. Basically all Muslims to worship and daily life in accordance with Sharia. Sharia is the law of Allah, and written in the Qur'an and Sunnah from enhanced with the Prophet Muhammad. So that in its implementation, the laws of the society can not be separated from religious values​​. In this context, Islam as the religion of the majority population of Indonesia has the prospect of the development of national law. Because of the cultural, juridical, philosophical and sociological, has a very strong argument. Islamic law in Indonesia, is actually a law of life, growing, partly known and adhered by the Muslims in this country.  Seen clearly that the Islamic Shari'a, Islamic law and Islamic jurisprudence, is a law of life in Indonesian society.

In order to impact on national law, the Islamic law can be an important part in the institutionalization of Islamic law through the legislative process, so it has been a positive law in the form of legislation, such as:
1.    Law No. 1 of 1974 about Marriage
2.    Law No. 7 of 1989 about the Religious Courts
3.    Law No. 38 of 1999 about Management of Zakat
4.    Law No. 4 of 2002 about Hajj
5.    Law No. 10 of 1999 about Banking
6.    Law of Waqf and more.
Some of the positive institutionalization of Islamic law in Indonesia through legislative efforts, as described above, requiring another attempt and this is through the jurisprudence of Islamic law does not deliver development in a planned and purposeful. Positive Law of Islam through jurisprudence, but also temporary casuistry. I argue that Islamic law is also dynamic in meeting the legal needs of the community. Sharia provides principles which require a continuous application of ijtihad by considering the dynamics of the community.

Indonesia is a state law (rechtstate) and not the Nation of Islam, so in the affairs of state are not fully enforced Islamic law (Sharia). However, Indonesia does not mean that the law not integrate the values ​​of the Islamic Law. Indonesia is a country with a diverse population, then in terms of family law and inheritance, the Islamic law as it remains otherwise applicable law. As is the case, if there are other religions which have their own laws in that field, let their religious law that is applicable. On issues relating to civil law, such as banking and insurance law, states can also transform the rules of Islamic law in the field and make it part of our national law. While in terms of public law, the Shari'a of Islam itself gives only basic rules, or principles-principle alone, then let it be a source of law in formulating the rules of national law.

With some of the things we have argued above, there appeared some hope for developing the relationship between Islamic law on the one hand and on the other side of the obstacles that must be faced in implementing Islamic law itself in a positive way. On the other hand, in the course of legal reform in Indonesia, on one side of the open space and opportunities for Islamic law plays a greater role, but the need for the reinforcement of Islam in the development of Islamic law. Moreover, if understood, that the transformation of Islamic law in the form of legislation (al-Ahkam Takhrij fi al-Qanun al-Nash) is a product of the interaction between Islamic political elite (the ulama, mass leaders, religious officials and Muslim scholars) to the power elite (the rulling elite) that politicians and state officials. From the above phenomenon, at least it appears that Islamic law has the potential to contribute in realizing the objectives state. Admittedly, Islamic law can grow and thrive in a modern society.

Minggu, 27 Mei 2012

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA (Tinjauan Aspek Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum)


I.       Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum[1]. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum terdapat tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum mempunyai ciri-ciri:[2]
1.      Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2.      Kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
3.   Legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa baik pemerintah/Negara maupun warga Negara dalam bertindak harus berdasar atas melalui hukum.
Utrecht mengemukakan, bahwa hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.[3] Menurut J.C.T Simorangkir, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, dengan hukuman tertentu.[4] Hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara memiliki kedudukan yang penting, Roeslan Saleh menyatakan, bahwa:
“Cita hukum bangsa dan negara Indonesia adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, untuk membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Cita hukum itulah Pancasila”.[5]

Negara Indonesia dalam mencapai cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dengan begitu, bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum.[6]
Dalam upaya mewujudkan kehidupan yang damai, aman dan tentram, diperlukan adanya aturan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat agar sesama manusia dapat berperilaku dengan baik dan rukun. Namun, gesekan dan perselisihan antar sesama manusia tidaklah dapat dihilangkan. Maka, hukum diberlakukan terhadap siapapun yang melakukan perbuatan melanggar hukum.
Menurut Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa berhasil atau  tidaknya penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum.[7] Substansi Hukum adalah bagian substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, atau aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Saxon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tiada suatu perbuatan dapat pidana kecuali atas kekuatan hukum yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Struktur Hukum/Pranata Hukum disebut sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (LP). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Budaya/Kultur Hukum menurut Lawrence M. Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Baik substansi hukum, struktur hukum  maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.
Jimly Asshiddiqie menuliskan dalam makalahnya, mengemukakan pengertian penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selanjutnya ia mengemukakan pendapat, bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari sudut subjek dan subjeknya:
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.[8]

Dengan pemaparan latar belakang di atas, bahwa dalam penegakan hukum diperlukan adanya harmonisasi dari unsur-unsur, mulai dari subtansi/isi, struktur/aparaturnya, dan juga didukung oleh kulturnya. Namun, yang menjadi fokus penelitian pada makalah ini, kami ingin melihat penegakan hukum dalam aspek  keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, yang pada akhirnya menyimpulkan bagaimanakah kecenderungan penegakan hukum di Indonesia dilihat dari tiga aspek tersebut.

II.          Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, kami akan mengerucutkan pembahasan tentang bagaimanakah penegakan hukum ditinjau dari aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, dan menyimpulkan bagaimanakah kecenderungan penegakan hukum di Indonesia dilihat dari tiga aspek tersebut

III.       Perumusan Masalah.
1.      Bagaimanakah penegakan hukum ditinjau dari aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan?
2.      Bagaimanakah kecenderungan penegakan hukum di Indonesia dilihat dari tiga aspek tersebut?
IV.       Pembahasan
Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai suatu sistem, dapat berperan dengan baik dan benar ditengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum.  Pelaksanaan hukum itu dapat berlangsung secara normal, tetapi juga dapat terjadi karena pelanggaran hukum, oleh karena itu hukum yang sudah dilanggar itu harus ditegakkan. Menurut Gustav Radbruch terdapat tiga (3) unsur utama/tujuan dalam penegakan hukum, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit) dan kemanfaatan (Zweckmaβigkeit).[9]
Kepastian hukum oleh setiap orang  dapat terwujud dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang berlaku pada dasarnya tidak  dibolehkan menyimpang, hal ini  dikenal juga dengan istilah  fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Kepastian hukum sangat identik dengan pemahaman positivisme hukum. Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit.[10] Undang-undang dan hukum diidentikkan.[11] Hakim positivis dapat dikatakan sebagai corong undang-undang. Montesquieu menuliskan dalam bukunya “De l’esprit des lois” yang mengatakan:
Dans le gouverment republicant, il est de la nature de la constitution que les juges suivent la letter de la loi…Les juges de la nation ne sont qui la bounce qui pronounce les parolesde la loi, des etres inanimes qui n’en peivent moderer ni la force ni la rigueur” (Dalam suatu negara yang berbentuk Republik, sudah sewajarnya bahwa undang-undang dasarnya para hakim menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang. Para hakim dari negara tersebut adalah tak lain hanya merupakan mulut yang mengucapkan perkataan undang-undang, makhluk yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah, baik mengenai daya berlakunya, maupun kekerasannya).[12]
Dengan pernyataan itu, legisme sejalan dengan Trias Politika dari Montesquieu, yang menyatakan bahwa, hanya apa yang dibuat oleh badan legislatif saja yang dapat membuat hukum, jadi suatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislatif bukanlah merupakan suatu kaidah, hakim dan kewenangan pengadilan hanya menerapkan undang-undang saja.[13] Penegakan hukum yang mengutamakan kepastian hukum juga akan membawa masalah apabila penegakan hukum terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat tidak dapat diselesaikan berdasarkan hati nurani dan keadilan.
Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Apabila penegak hukum menitik beratkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai kemanfaatan dan kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum itu tidak dapat berjalan dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik beratkan kepada nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan  keadilan dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya dalam menegakkan hukum itu nilai-nilai dasar keadilan yang merupakan nilai dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan merupakan suatu kesatuan berlaku secara sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum yang merupakan kesatuan yang secara yuridis harus diterapkan secara seimbang dalam penegakan hukum.
Hal menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang saling tarik menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan Saleh mengemukakan:[14]
“Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pada kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.

Roscue Pound sebagai salah satu ahli hukum yang ber-mazhab pada Sosiological Jurisprudence, terkenal dengan teorinya yang menyatakan bahwa, “hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering)”.[15] Hal inilah yang menjadi tolak pemikiran dari Satjipto Raharjo dengan menyatakan,
”bahwa hukum adalah untuk manusia, pegangan, optik atau keyakinan dasar, tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”.[16]

Dengan demikian, bahwa kedudukan keadilan merupakan unsur yang sangat penting dalam penegakan hukum di Indonesia. Indonesia memiliki kultur masyarakat yang beragam dan memiliki nilai yang luhur, tentunya sangat mengharapkan keadilan dan kemanfaatan yang dikedepankan dibandingkan unsur kepastian hukum. Keadilan merupakan hakekat dari hukum, sehingga penegakan hukum pun harus mewujudkan hal demikian. Disamping kepastian hukum dan keadilan, unsur lain yang perlu diperhatikan adalah kemanfaatan.
Kemanfaatan dalam penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam mengukur keberhasilan penegakan hukum di Indonesia. Menurut aliran Utilitarianisme, penegakan hukum mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat pidana, bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.[17] Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Hukum yang baik adalah hukum yang memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Jeremy Bentham, bahwa:
“Pemidanaan itu harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.[18]
 Maka, apabila melihat hal yang ideal berdasarkan 3 (tiga) unsur/tujuan penegakan hukum yang telah dikemukakan di atas, penegakan hukum di Indonesia terlihat cenderung mengutamakan kepastian hukum. Harmonisasi antar unsur yang diharapkan dapat saling mengisi, ternyata sangat sulit diterapkan di Indonesia. Aparat penegak hukum cenderung berpandangan, hukum adalah perundang-undangan dan mengutamakan legal formil dalam setiap menyikapi fenomenal kemasyarakatan.

V.          Kesimpulan
Bahwa dari pembahasan di atas, kami menyimpulkan bahwa terdapat kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia. Sejak lama para pencari keadilan/masyarakat mendambakan penegakan hukum yang adil. Namun, dalam praktik penegakan hukum yang sedang berlangsung saat ini, pengutamaan nilai kepastian hukum lebih menonjol dibandingkan dengan rasa keadilan masyarakat. Berbagai putusan pengadilan, misalnya dalam kasus nenek Minah dan Aal pencuri sandal, sepertinya menggambarkan penegakan hukum cenderung perpandangan bahwa hukum adalah undang-undang, dan menimbulkan kekecewaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Maka, kami memberi masukan dan jalan keluar, bahwa dalam hal substance/perundang-undangan, misalnya dengan melakukan upaya-upaya perbaikan/pembaruan terhadap perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai yg ada dalam masyarakat (contohnya: pengesahan RUU KUHP), meng-amandemen UUD oleh lembaga legislative, uji materiil UU dengan UUD NRI 1945 di MK, ataupun uji materiil peraturan yang ada di bawah UU dengan UU di MA. Perbaikan dalam hal stuktur/aparatur penegak hukum, diperlukan adanya pendekatan dalam pembentukan character building (pembinaan ESQ) dan keagamaan serta peningkatan SDM, sehingga aparatur penegak hukum di Indonesia memiliki mental yang kuat dan mampu mengemban amanat sesuai rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam perbaikan legal culture dalam masyarakat, apabila secara substance dan struktur sudah berjalan dengan baik, maka legal culture pun akan mengikuti dengan sendirinya. Demikianlah pemaparan dalam makalah ini, mudah-mudahan dapat menambah wawasan dan menjadi bacaan yang bermanfaat.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996)
Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu (Jakarta: Diandra Press, 2008).
Darji Darmodiharjo, Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia  (Jakarta: Gramedia, 1995).
J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Prenhallindo, 2007)
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001)
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008)
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana (Bandung: Alumni, 2005)
Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Komisi Yudisial, 2010)
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996)
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006).
Syaiful Bakhri, Pidana Denda Dan Korupsi (Yogyakarta: Total Media, 2009).
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: 1966)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Artikel:
Abdul Halim, Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009, hlm. 390. Diakses dari www.google.com pada 14 April 2012.
Jimly Asshiddiqie, Makalah Penegakan Hukum, diakses dari google.com  pada 17 April 2012.




[1]  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3).

[2] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 46.

[3]  Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: 1966), hlm. 13.

[4]  J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Prenhallindo, 2007), hlm. 30.

[5]  Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996), hlm. 15.

[6]  Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Op.Cit. hlm. 48.
[7] http://ashibly.blogspot.com/2011/07/teori-hukum.html

[8]  Jimly Asshiddiqie, Makalah Penegakan Hukum, diakses dari google.com  pada 17 April 2012.
[9] Gustav Radbruch: Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, Zweckmaβigkeit, dikutip oleh Shidarta dalam tulisan Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, dari buku Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara (Jakarta: Komisi Yudisial, 2010), hlm. 3.

[10] Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 42-43.

[11] Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana (Bandung: Alumni, 2005), hlm.120.
[12] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hlm. 114.

[13] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.30.

[14] Roeslan Saleh dikutip dalam Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu (Jakarta: Diandra Press, 2008), hlm 121-122.

[15] Darji Darmodiharjo, Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filosafat Hukum Indonesia  (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm.113.

[16] Abdul Halim, Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-kritiknya dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009, hlm. 390. Diakses dari www.google.com pada 14 April 2012.
[17] Syaiful Bakhri, Pidana Denda Dan Korupsi (Yogyakarta: Total Media, 2009). hlm. 129.

[18] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 275.